
Oleh: Alvino Kusumabrata (XII IPS)
Sekelompok perwira junior Angkatan Darat Libya yang terhimpun dalam Free Officers Movement (FOM), dengan pakaian militer kebanggaan dan senapan otomatis, mulai berpatroli di Benghazi dan Tripoli, Libya. Tanggal hari itu menunjukkan 1 September, 1969. Pimpinan sekelompok tersebut, Muammar Khadafi—sebagaimana dikutip dari BBC, seorang karismatik berusia 27 tahun, tengah berada di atas podium, kira-kira berucap:
“Hari ini kita telah menumbangkan Raja Idris I yang lalim. Orang yang telah hidup tanpa minyak selama 5.000 tahun dapat hidup tanpa minyak lagi selama beberapa tahun untuk mendapatkan hak mereka yang sah.”
Faisal Irfani, dalam artikel “Khadafi Berkuasa Melalui Kudeta Lalu Dijatuhkan Gerakan Arab Spring”, menuturkan dalam waktu 2 jam saja kudeta Khadafi sukses dilaksanakan di Benghazi dan beberapa hari selanjutnya berhasil melumat Tripoli. Kudeta putih berjalan tanpa korban. Alhasil Khadafi menjadi pemimpin baru.
Jennifer Latson, koresponden majalah Time, menulis, “Maka dimulailah 42 tahun pemerintahan Khaddafi yang ditandai dengan kekerasan dan kesombongan.” Interpretasi ajaran Islam yang ketat langsung diterapkan. Sosialisme, lewat filsafat Green Book-nya, digaungkan. Kesetiaan pada pemimpin mulai dipropagandakan oleh jajaran Khadafi. Jennifer Latson mengucapkan bahwa, salah satu dekrit pertama junta Khadafi adalah melarang bir dan wiski. Koresponden Time lain, Gavin Scott, menemukan fakta bahwa tombol lift “naik” dan “turun” telah ditutup dengan selotip untuk menghilangkan kata-kata bahasa Inggris yang dianggap menyinggung.
Sejak Khadafi berkuasa, ia mengamankan kompleks Bab al-Aziziya, Tripoli, sebagai rumahnya. Jon Lee Anderson, dalam artikel “King of Kings” yang termuat dalam The New Yorker, mengungkapkan rumah Khadafi diliputi dinding ledakan beton, celah senjata, dan menara penjaga menutup Qaddafi dan lingkaran dalamnya dari kehidupan di ibukota. Terdapat jalan setapak taman menuju bukit kecil buatan, di mana rumah berbentuk piringan—tempat tinggal Khadafi—dibangun di bawah tanah. Ditelusuri lebih dalam, dapat ditemui gym pribadi, kolam renang dalam ruangan, dan salon tata rambut.
Merambah perihal pers. Menurut Freedom of the Press Index, negara yang acapkali melakukan sensor terhadap pemberitaan di Timur Tengah dan Afrika Utara sekitar 2009 dan 2011 adalah Libya.
Di sisi lain, pengaplikasian sosialisme sudah mengudara di Libya. Faisal Irfani menyebut, “Khadafi melarang kepemilikan tempat tinggal lebih dari satu, mengubah perusahaan perorangan menjadi perusahaan negara, membentuk pasar rakyat yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, sampai membatasi akses individu ke rekening bank guna menarik dana pribadi untuk program pemerintah.”
Salah satu sektor terpenting yang dinasionalisasi oleh Khadafi ialah minyak bumi. “Minyak melumasi ayunan Libya menuju modernitas,” tulis Adam Ciralsky, dalam media Vanity Fair, “… dan memperkaya orang-orang di orbitnya [Khadafi] dengan cara yang sulit dipahami dan mungkin kebal terhadap perhitungan yang akurat.” Dikutip dari The New York Times, Khadafi dibantu oleh rekan politik untuk mengendalikan sejumlah perusahaan bisnis. Sayang seribu sayang, “sosialisme untuk masyarakat Libya” kemudian dipelintir menjadi “sosialisme untuk lingkaran Khadafi”.
Hedonisme, KKN, dan absolutisme kekuasaan mewarnai 42 tahun pemerintahan Khadafi. Masyarakat Libya telah muak dengan keadaan yang ada dan itu mencapai klimaksnya pada 2011. Bersamaan dengan Arab Spring, masyarakat Libya menggulingkan Khadafi. Minggu-minggu yang bergejolak menemui ujungnya ketika Khadafi mati di tangan rakyatnya sendiri. “Beberapa pejabat Libya mengatakan Khadafi yang berusia 69 tahun telah meninggal,” terang Financial Times, “karena luka-luka selama bentrokan antara pemberontak dan loyalis di Sirte …”
Sudah saatnya, sebagai seorang terpelajar, mengoreksi dan menilai apa yang dilakukan Khadafi—sejak ia mengkudeta Idris I hingga wafatnya—menurut Bughat dalam Islam.
Khadafi dan Bughat
Sebelum meninjau 42 tahun pemerintahan Khadafi dengan Bughat, wajiblah mengetahui apa itu makna Bughat. Diambil dari buku Pendidikan Fikih SMA/SMK Muhammadiyah, bughat artinya aniaya, durhaka atau melampaui batas.
Dapat juga diartikan sebagai “sekelompok orang Islam yang menolak taat kepada negara, menolak menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai warganegara.” Pun, sebelum menilai apakah tindakan OFM dan Khadafi termasuk bughat, harus memerhatikan betul kriteria dari bughat. Pertama, adanya upaya yang bersifat kolektif. Kedua, memiliki kekuatan atau senjata. Ketiga, adanya tindakan anti terhadap penguasa yang sah dalam suatu negara yang berdasar Islam.
Maka masuklah roh Khadafi ke dalam mahkamah sejarah. Bughat sebagai hakimnya. Dari apa yang dilakukan Khadafi sejak 1969 hingga 2011 melalui pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulannya bahwa pemerintahan Khadafi termasuk bughat.
Apakah tindakan Khadafi, melalui kudeta, dapat dibenarkan secara ke-Islam-an dan moralistik? Secara Islam, menurut Al-Qur’an, pelaku pemberontakan wajib diperangi agar berhenti. Pernyataan tersebut secara gamblang termaktub dalam Q.S al-Hujurat/49: 9 yang berbunyi:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berbuat adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku Adil”.
Dan memang, dalam kasus bughat ini, cara untuk merebut kekuasaan secara paksa—kudeta—harus dihindari. Seluruh kudeta yang ada sampai sekarang akan melahirkan tirani. Hal ini senada seperti yang diungkap oleh Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism, (1951), bahwa salah satu totalitarianisme lahir dari rahim pemberontakan (baca: kudeta) yang berhasil.
Sejarah menunjukkan hal itu. Pikiran kita masih ingat kudeta yang dilakukan Augusto Pinochet terhadap Salvador Allende di Cile pada 1973, yang kemudian menumbuhkan junta militer. Pada 1960-an, Park Chung Hee mengudeta pemimpin sah Korea Selatan. Mobutu Sese Seko merebut kekuasaan dengan kudeta di Republik Demokratik Kongo pada 1965. Di Indonesia sendiri, Soeharto merebut kekuasaan dari Sukarno dengan cara “kudeta merangkak”—seperti yang diungkap Rachmawati Soekarnoputri. Keseluruhan kudeta di atas, secara jalan pemerintahan, dilaksanakan menurut penyimpangan kekuasaan, pengekangan terhadap masyarakat sipil, dan otoriter. Pada akhirnya, menyengsarakan rakyat bawah. Maka, segala bentuk bughat yang bervariasi itu, harus dihentikan dan bahkan diperangi.